Kontra Realitas Bojonegoro Antara Kelas Sekolah Roboh dan Makanan Yang Meracuni

waktu baca 3 menit
Selasa, 7 Okt 2025 16:31 97 politisi

 

 

 

 

 

Isu yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro sangat ironi yakni mempertemukan urgensi Fasilitas Pendidikan yang Rusak Parah dengan masalah pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berujung keracunan, ini adalah cerminan dilema kebijakan yang aktual dan harus segera diselesaikan.

Ini bukan lagi soal mana yang lebih penting, melainkan mana yang paling mendesak untuk menyelamatkan nyawa dan menjamin hak dasar anak.

Opini publik saat ini harus diarahkan pada satu realitas dimana Pondasi pendidikan harus diselamatkan dari keruntuhan fisik, sementara skema gizi harus diselamatkan dari kegagalan sistemik yang membahayakan.

Fasilitas Sekolah Prioritas Keselamatan Mutlak

Data mengenai lebih dari 1.000 ruang kelas di Bojonegoro yang rusak—dari SDN 1 Pragelan hingga SMPN di Kedungadem—bukan sekadar statistik kekurangan, melainkan peringatan akan ancaman keselamatan jiwa.

Tidak ada nilai dalam kurikulum tercanggih atau guru terlatih jika siswa harus belajar di ruangan yang atapnya rapuh atau dindingnya retak.

Kondisi di mana siswa berdesakan di sekat triplek, seperti yang terjadi di SDN 3 Papringan, secara langsung membunuh efektivitas pembelajaran.

Pemerintah Pusat dan Daerah harus memprioritaskan anggaran untuk perbaikan infrastruktur sekolah secara total. Menunda perbaikan gedung adalah membiarkan anak-anak kita bertaruh nyawa.

Pendidikan berkualitas hanya bisa dimulai dari ruang kelas yang layak, aman, dan memadai. Ini adalah prasyarat dasar dan fondasi yang harus kokoh.

MBG Ganti Skema, Stop Risiko Keracunan

Niat suci program MBG untuk mengatasi gizi buruk harus diakui. Namun, keracunan massal yang berulang—termasuk di Bojonegoro yang menimpa siswa SD hingga SMA—telah mengubah program ini menjadi bencana logistik dan sanitasi.

Sebuah program yang bertujuan mengentaskan gizi buruk, namun justru meracuni ratusan penerima manfaat, adalah sebuah pelanggaran etika dan tata kelola negara terhadap warga negaranya.

Masalah utama terletak pada beban kerja yang tidak masuk akal, di mana satu Sentra Produksi Pangan Gizi (SPPG) melayani ribuan siswa, memaksa makanan dimasak jauh hari sebelumnya dan berpotensi basi.

Solusinya bukanlah menghentikan program, melainkan mengganti skema secara radikal dan total.

Skema Transfer Tunai (Rp.10.000/hari): Ubah bantuan menjadi transfer tunai bersyarat kepada wali murid.

Ibu-ibu di rumah memiliki kontrol kualitas tertinggi untuk memastikan makanan yang disajikan segar, sehat, dan berprotein tinggi, sekaligus memutus rantai risiko keracunan massal dari dapur terpusat.

Pemberdayaan Kantin dan Katering Mikro.

Alihkan alokasi dana untuk mengaktifkan kembali dan standarisasi kantin sekolah, atau memberdayakan katering lokal skala kecil di tingkat desa/kelurahan.

Ini akan meminimalkan risiko, memastikan makanan lebih segar, dan menggerakkan ekonomi rakyat di sekitar sekolah.

Pengawasan Kualitas Ketat. Jika skema SPPG terpusat dilanjutkan, kapasitas layanan wajib diturunkan drastis, dan pengawasan oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas harus dilakukan setiap hari, bukan sekadar kunjungan berkala.

 

Opini Populer: Jangan Korbankan Nyawa Anak

Maka, opini yang paling aktual dan populer adalah Jangan korbankan keselamatan generasi penerus bangsa demi mempertahankan skema MBG yang terbukti bermasalah. Alihkan fokus anggaran secara tegas.

MBG harus segera direformasi ke skema yang lebih aman (seperti cash transfer), dan anggaran perbaikan ruang kelas yang roboh harus menjadi prioritas nomor satu daerah, sebelum ada korban jiwa yang jatuh tertimpa bangunan sekolah.

 

Penulis 

SAHDAN

Ketua Yayasan Suara Petani Indonesia

Cabang Bojonegoro

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA